MAKALAH
SURVEILANS EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR
“HIV/AIDS”
OLEH KELOMPOK VI :
AGUSFIAN
TINANGGAL NOVITA
FARADILAH K
I
NYOMAN SUARTAWAN LISTI SINTA
WARNI
M. LULUMET NILMA
SINANDE
HIKMAWATI
S. NGONING AGUSTINA
RAHMALA P
SOFIATI
DEWI ESNIATY
PAMANYO
JUWITA
H. NILTA
SOSIBONG
WAWAN
KURNIAWAN YESICA
F. MUSTAPA
FAKULTAS
KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS
TOMPOTIKA LUWUK
T.A
2013/2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS) pertama kali dikenal pada tahun 1981 di
Amerika Serikat dan disebabkan oleh human immunodeficiency virus (HIV-1). AIDS
adalah suatu kumpulan gejala penyakit kerusakan system kekebalan tubuh; bukan
penyakit bawaan tetapi diddapat dari hasil penularan. penyakit ini merupakan
persoalan kesehatan masyarakat yang sangat penting di beberapa negara dan
bahkan mempunyai implikasi yang bersifat internasional dengan angka moralitas
yang peresentasenya di atas 80 pada penderita 3 tahun setelah timbulnya
manifestasi klinik AIDS. Pada tahun 1985 Cherman dan Barre-Sinoussi melaporkan
bahwa penderita AIDS di seluruh dunia mencapai angka lebih dari 12.000 orang
dengan perincian, lebih dari 10.000 kasus di Amerika Serikat, 400 kasus di
Francis dan sisanya di negara Eropa lainnya, Amerika Latin dan Afrika. Pada
pertengahan tahun 1988, sebanyak lebih dari 60.000 kasus yang ditegakkan
diagnosisnya sebagai AIDS di Amerika Serikat telah dilaporkan pada Communicable Disease Centre (CDC) dan
lebih dari setengahnya meninggal. Kasus-kasus AIDS baru terus-menerus di
monitor untuk ditetapkan secara pasti diagnosisnya. Ramalan baru-baru ini dari
United States Public Health Service menyatakan, bahwa pada akhir tahun 1991,
banyaknya kasus AIDS secara keseluruhan di Amerika Serikat doperkirakan akan
meningkat paling sedikit menjadi 270.000 dengan 179.000 kematian. Juga telah
diperkirakan, bahwa 74.000 kasus baru dapat di diagnosis dan 54.000 kematian
yang berhubungan dengan AIDS dapat terjadi selama tahun 1991 saja. Sebagai
perbandingan dapat dikemukakan, kematian pasukan Amerika selama masa perang di
Vietnam berjumlah 47.000 korban.
Selain itu,
berdasarkan data Departemen kesehatan (Depkes) pada periode Juli-September 2006
secara kumulatif tercatat pengidap HIV positif di tanah air telah mencapai
4.617 orang dan AIDS 6.987 orang. Menderita HIV/AIDS di Indonesia dianggap aib,
sehingga dapat menyebabkan tekanan psikologis terutama pada penderitanya maupun
pada keluarga dan lingkungan disekeliling penderita.
Secara
fisiologis HIV menyerang sisitem kekebalan tubuh penderitanya. Jika ditambah
dengan stress psikososial-spiritual yang berkepanjangan pada pasien terinfeksi
HIV, maka akan mempercepat terjadinya AIDS, bahkan meningkatkan angka kematian.
Menurut Ross (1997), jika stress mencapai tahap kelelahan (exhausted stage), maka dapat menimbulkan kegagalan fungsi system
imun yang memperparah keadaan pasien serta mempercepat terjadinya AIDS.
Modulasi respon imun penderita HIV/AIDS akan menurun secara signifikan, seperti
aktivitas APC (makrofag); Thl (CD4); IFN; IL-2; Imunoglobulin A, G, E dan
anti-HIV. Penurunan tersebut akan berdampak terhadap penurunan jumlah CD4
hingga mencapai 180 sel/l per tahun.
Pada
umumnya, penanganan pasien HIV memerlukan tindakan yang hampir sama. Namun
berdasarkan fakta klinis saat pasien control ke rumah sakit menunjukkan adanya
perbedaan respon imunitas (CD4). Hal tersebut menunjukkan terdapat factor lain
yang berpengaruh, dan factor yang diduga sangat berpengaruh adalah stress.
Stress yang
dialami pasien HIV menurut konsep psikoneuroimunologis, stimulusnya akan
melalui sel astrosit pada cortical
dan amigdala pada system limbic berefek pada hipotalamus, sedangkan hipofisis
akan menghasilkan CRF (Corticotropin
Releasing Factor). CRF memacu pengeluaran ACTH (Adrenal corticotropic hormone) untuk memengaruhi kelenjar korteks
adrenal agar menghasilkan kortisol. Kortisol ini bersifat immunosuppressive terutama pada sel zona fasikulata. Apabila
stress yang dialami pasien sangat tinggi, maka kelenjar adrenal akan
menghasilkan kortisol dalam jumlah besar sehingga dapat menekan system imun
(Apasou dan Sitkorsky,1999), yamg meliputi aktivitas APC (makrofag); Th-1
(CD4); sel plasma; IFN; IL-2;IgM-IgG, dan Antibodi-HIV (Ader,2001).
Perawat merupakan
factor yang berperan penting dalam pengelolaan stress, khususnya dalam
memfasilitasi dan mengarahkan koping pasien yang konstruktif agar pasien dapat
beradaptasi dengan sakitnya. Selain itu perawat juga berperan dalam pemberian
dukungan social berupa dukungan emosional, informasi, dan material (Batuman,
1990; Bear, 1996; Folkman Dan Lazarus, 1988).
Salah satu
metode yang digunakan dalam penerapan teknologi ini adalah model asuhan
keperawatan. Pendekatan yang digunakan adalah strategi koping dan dukungan
social yang bertujuan untuk mempercepat respon adaptif pada pasien terinfeksi
HIV, meliputi modulasi respon imun (Ader, 1991 ; Setyawan, 1996; Putra, 1990),
respon psikologis, dan respon social (Steward, 1997). Dengan demikian,
penelitian bidang imunologi memilki empat variable yakni, fisik, kimia, psikis,
dan social, dapat membuka nuansa baru untuk bidang ilmu keperawatan dalam
mengembangkan model pendekatan asuhan keperawatan yang berdasarkan pada
paradigm psikoneuroimunologi terhadap pasien HIV (Nursalam, 2005). Surveilans HIV/AIDS adalah metode untuk
mengetahui tingkat masalah melalui pengumpulan data yang sistematis dan terus
menerus terhadap distribusi dan kecenderungan infeksi HIVdan penyakit terkait
lainnya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimanaepidiomologi HIV/AIDS ?
2.
Bagaimana konsep surveilans HIV dan AIDS ?
3.
Bagaimana pedoman surveilans sentinel HIV ?
4.
Bagaamana
indikator surveilans sentinel HIV ?
5.
Bagaimana prosedur dan ketentuan surveilans sentinelHIV/AIDS?
6.
Bagaimana
kelemahan sistem surveilans epidemiologi HIV/AIDS ?
7.
Bagaimana kelebihan sistem surveilans epidemiologi HIV/AIDS ?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui epidiomologi
HIV/AIDS
2.
Untuk mengetahui konsep surveilans HIV dan AIDS
3.
Untuk mengetahui pedoman surveilans sentinel HIV
4.
Untuk mengetahui indikator surveilans sentinel HIV
5.
Untuk mengetahuiprosedur dan ketentuan surveilans
sentinelHIV/AIDS
6.
Untuk mengetahui kelemahan sistem surveilans epidemiologi
HIV/AIDS
7.
Untuk mengetahuikelebihan sistem surveilans epidemiologi
HIV/AIDS
D.
Manfaat
1.
Mempermudah kita untuk mengetahui
bagaimana surveilans epidemiologi
penyakit HIV/AIDS
2.
Menambah wawasan kita yang lebih
luas lagi kita tentang surveilans epidemiologi penyakit HIV/AIDS
BAB II
PEMBAHASAN
A. Epidemiologi
HIV/AIDS
Pada tahun
1992, sekurang-kurangnya 12,9 juta penduduk dunia terinfeksi dengan HIV
termasuk anak-anak, dan dari jumlah ini sebanyak 2,58 juta telah menjadi
penderita AIDS dengan CFR sebesar 98,9%.Berdasarkan laporan dari UNAIDS (2004),
prevalensi pengidap HIV dewasa (15- 49 tahun) di wilayah Sub Sahara Afrika
sebesar 7,4%. Benua Afrika didiami oleh 10% jumlah populasi
dunia, namun di saat yang sama, 60%
dari jumlah populasinya telah mengidap AIDS.
Demikian
juga dengan prevalensi pengidap HIV dewasa (15-49 tahun) di Amerika Utara
sebesar 0,6% dan di Eropa Barat sebesar 0,3%. Berdasarkan laporan
dari Dirjen PP dan PL Depkes RI (2006), prevalensi
kasusAIDS secara nasional sebesar 3,47 per
100.000 penduduk dengan prevalensi kasus yang dilaporkana di
provinsi Papua yaitu
sebesar 50,94 per 100.000 penduduk dan disusul dengan
Propinsi Jakarta dengan prevalensi sebesar 28,73 per 100.000 penduduk.
Berdasarkan
Profil Kesehatan Nasional Tahun 2005, kasus
AIDS tertinggi dilaporkan berada pada golongan umur 20-39 tahun
(79,98%) dan 40-49 tahun (8,47%) sedangkan berdasarkan data
dari Departemen Kesehatan RI (2007), rasio
kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 4,07:1.
Berdasarkan
profil tersebut juga dinyatakan bahwa penularan
HIV/AIDS terbanyak adalah melalui hubungan seksual dan penggunaan jarum suntik
bersama pada IDU. Kelompok umur 20-49 tahun
merupakan kelompok umur yang aktif dalam aktivitas seksual dan pengguna IDU
juga didominasi oleh kelompok umur produktif.
1. Distribusi dan Frekuensi HIV/AIDS
a. Berdasarkan Orang
Menurut Chin (2000), tidak diketahui adanya kekebalan orang terhadap
infeksi HIV/AIDS, tetapi kerentanan setiap orang terhadap HIV/AIDS diasumsikan
bersifat umum, tidak dipengaruhi oleh ras, jenis kelamin dan kehamilan,
sehingga setiap orang mungkin untuk terserang HIV/AIDS.
Penelitian Hall dkk tahun 2005 dalam Journal Acquired Immune Deficiency
Sindrome (2009) di 33 negara bagian Amerika Serikat, diperoleh bahwa Ras
Kulit hitam 9 kali berisiko menderita AIDS dibanding Ras Kulit putih dengan Resiko
Relative (RR) 9,16 dan Ras Hispanik mempunyai risiko 3 kali lebih tinggi
daripada Ras Kulit Putih (RR 3,05). Risiko menderita AIDS 2 kali lebih tinggi
pada orang Indian Amerika/penduduk asli Alaska dari pada orang Asia/Kepulauan
Pasifik (RR 2,05). Di Canada, RR AIDS 5,5 kali lebih tinggi pada Ras Kulit
hitam dibandingkan pada Ras Kulit putih (RR 5,54) dan 4 kali lebih tinggi pada
orang Aborigin dibandingkan IR Ras Kulit putih (RR 4,36).
Berdasarkan data UNAIDS (2008), 67% infeksi HIV di dunia terdapat di
Sub-Sahara Afrika. Dari 2,7 juta kasus baru pada tahun 2008, 68% terdapat pada
orang dewasa. Sebesar 6,4% prevalensi HIV terdapat pada perempuan.
Berdasarkan data dari Ditjen PP & PL Depkes RI (2009), terdapat 19.973
jumlah kumulatif kasus AIDS dengan 49,07% terdapat pada kelompok umur 20-29
tahun, 30,14% pada kelompok umur 30-39 tahun, 8,82% pada kelompok umur 40-49
tahun, 3,05% pada kelompok umur 15-19 tahun, 2,49% pada kelompok umur 50-59
tahun, 0,51% pada kelompok umur > 60 tahun, 2,65% pada kelompok umur < 15
tahun dan 3,27% tidak diketahui. Rasio kasus AIDS antara laki-laki dan
perempuan adalah 3:1.
Menurut laporan Ditjen PP & PL Depkes RI (2009), 40,2% penderita AIDS
terdapat pada kelompok Pengguna Napza Suntik atau IDU. Kumulatif kasus AIDS
pada Pengguna Napza Suntik di Indonesia hingga tahun 2009 adalah 7.966 kasus,
7.312 kasus adalah laki-laki (91,8%), 605 kasus perempuan (7,6%) dan 49 kasus
tidak diketahui jenis kelaminnya (0,6%). 64,1% terdapat pada kelompok umur
20-29 tahun, 27,1% pada kelompok umur 30-39 tahun, 3,5% pada kelompok umur
40-49 tahun, 1,5% pada kelompok umur 15-19 tahun, 0,6% pada kelompok umur 50-59
tahun, pada kelompok umur 5-14 tahun dan >60 tahun masing-masing 0,1% dan
2,8% tidak diketahui kelompok umurnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Hamdan di Kota Batam (2003), desain case
series, terdapat 164 penderita HIV/AIDS, 126 penderita (76,9%) berada pada
kelompok umur 20-40 tahun, 62,8% berjenis kelamin perempuan, 37,2% berjenis
kelamin laki-laki, berpendidikan SLTP 33,5%, SLTA 32,3%, SD 19,5%, tidak
sekolah 12,2% dan berpendidikan Akademi/PT 2,4%.26.
Berdasarkan data dari Komisi Pemberantasan AIDS (KPA) Dinas Kesehatan
Provinsi Sumatera Utara (2009), sejak 1992 hingga April 2009 terdapat 1.680
jumlah kumulatif HIV/AIDS, 1.339 kasus pada pria (79,70%) dan 341 kasus pada
perempuan (20,30%), 921 kasus pada kelompok umur 20-29 tahun (54,82%) dan 523
kasus pada kelompok umur 30-39 tahun (31,13%), 121 kasus pada kelompok umur
40-49 tahun (7,20%), 46 kasus pada kelompok umur 10-19 tahun (2,74%), 41 kasus
pada kelompok umur >50 tahun (2,44%), 8 kasus pada kelompok umur 1-4 tahun
(0,47%), masing-masing 5 kasus pada kelompok umur 5-9 tahun dan <1 tahun
(0,29%).
b. Berdasarkan Tempat
Menurut data dari Joint United Nation Program on HIV/AIDS (UNAIDS) tahun
2008, di kawasan Sub-Sahara Afrika terdapat 22,4 penderita HIV/AIDS, dengan PR
pada orang dewasa sebesar 5,2%. Di Asia Selatan dan Asia Tenggara terdapat 3,8
juta ODHA dengan PR pada orang dewasa sebesar 0,3%. Di Asia Timur terdapat
850.000 penderita HIV/AIDS dengan jumlah kematian 59.000 kasus.Menurut Chin
(2000), dari sekitar 33,4 juta penderita HIV/AIDS di dunia tahun 1999, 22,5
juta diantaranya terdapat di negara-negara Sub-Sahara Afrika, dan 6,7 juta ada
di Asia Selatan dan Asia Tenggara, 1,4 juta terdapat di Amerika Latin dan
665.000 di AS.
Berdasarkan data SEARO (2009), prevalensi HIV/AIDS lebih tinggi di daerah
perkotaan daripada di daerah pedesaan. Berdasarkan hasil survei rumah tangga
yang dilakukan di enam kota di India, ditemukan bahwa prevalensi HIV/AIDS 40%
lebih tinggi di perkotaan dibanding dengan daerah pedesaan. Pada tahun 2008,
dari 96 kasus baru yang dilaporkan di Sri Lanka, 61% berasal dari Colombo yang
merupakan ibukota Sri Lanka.
Berdasarkan data dari Ditjen PP & PL Depkes RI (2009), tercatat 19.973
kumulatif kasus AIDS terjadi di 32 provinsi dan 300 kabupaten/kota di seluruh
Indonesia. Provinsi dengan rate kumulatif kasus AIDS per 100.000 penduduk
tertinggi adalah Papua (133,07), Bali (45,45), DKI Jakarta (31,67), Kepulauan
Riau (22,23) Kalimantan Barat (16,91), Maluku (14,21), Bangka Belitung (11,36),
Papua Barat dan Jawa Timur (8,93) dan Riau (8,36). Provinsi yang memiliki
proporsi AIDS terbanyak hingga Desember 2009 adalah Jawa Barat (18,01%), Jawa
Timur (16,16%), DKI Jakarta (14,16%), Papua (14,05%), dan Bali (8,09%). Pada
kelompok pengguna napza suntik, proporsi AIDS terbanyak dilaporkan dari
Provinsi Jawa Barat 32,99%, DKI Jakarta 25,13%, Jawa Timur 12,82%, Bali 3,27%,
Sumatera Barat 2,81%.
c. Berdasarkan Waktu
AIDS atau SIDA (Sindrom Imuno Defisiensi Akuisita) adalah suatu
penyakit yang dengan cepat telah menyebar ke seluruh dunia (pandemik). Sejak
ditemukan kasus AIDS pertama di Indonesia tahun 1987, perkembangan jumlah kasus
HIV/AIDS yang dilaporkan di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan. Sampai dengan tahun 1990 perkembangan kasus AIDS masih lambat,
namun sejak tahun 1991 jumlah kasus AIDS lebih dua kali lipat dari tahun
sebelumnya. Kasus AIDS sejak awal tahun 2006 sampai 31 Desember 2006 mencapai
2.873 kasus mengalami peningkatan 235 kasus dari tahun sebelumnya.
Menurut data dari Ditjen PPM & PL Depkes RI (2009), trend kecenderungan
jumlah kasus AIDS senantiasa mengalami peningkatan. Pada tahun 2005 terdapat
2.639 kasus baru, tahun 2006 meningkat menjadi 2.873 kasus baru, tahun 2007
meningkat menjadi 2.947 kasus baru, pada tahun 2008 meningkat menjadi 4.969
kasus baru, hingga tahun 2009 terdapat 3.863 kasus baru. Sampai 31
Desember 2009 secara kumulatif pengidap infeksi AIDS menjadi 19.973 kasus.
2. Determinan HIV/AIDS
a. Agent
HIV
merupakan virus penyebab AIDS termasuk Retrovirus yang sangat mudah mengalami
mutasi sehingga sulit untuk menemukan obat yang dapat membunuh, virus tersebut.
Daya penularan pengidap HIV tergantung pada sejumlah virus yang ada didalam darahnya,
semakin tinggi/semakin banyak virus dalam darahnya semakin tinggi daya
penularannya sehingga penyakitnya juga semakin parah. Virus HIV atau virus
AIDS, sebagaimana Virus lainnya sebenarnya sangat lemah dan mudah mati di luar
tubuh. Virus akan mati bila dipanaskan sampai temperatur 60° selama 30 menit,
dan lebih cepat dengan mendidihkan air. Seperti kebanyakan virus lain, virus
AIDS ini dapat dihancurkan dengan detergen yang dikonsentrasikan dan dapat
dinonaktifkan dengan radiasi yang digunakan untuk mensterilkan peralatan medis
atau peralatan lain.
b. Host
Distribusi
penderita AIDS di Amerika Serikat Eropa dan Afrika tidak jauh berbeda kelompok
terbesar berada pada umur 30 -39 tahun. Hal ini membuktikan bahwa transmisi
seksual baik homoseksual maupun heteroseksual merupakan pola transmisi utama.
Mengingat masa inkubasi AIDS yang berkisar dari 5 tahun ke atas maka infeksi
terbesar terjadi pada kelompok umur muda/seksual paling aktif yaitu 20-30
tahun. Pada tahun 2000 diperkirakan Virus AIDS menular pada 110 juta orang
dewasa dan 110 juta anak-anak. Hampir 50% dari 110 juta orang itu adalah remaja
dan dewasa muda usia 13 -25 tahun. Informasi yang diperoleh dari Pusat AIDS
International fakultas Kesehatan Masyarakatat Universitas Harvard, Amerika Serikat
sejumlah orang yang terinfeksi virus AIDS yang telah berkembang secara penuh
akan meningkat 10 kali lipat.
c. Environment
Lingkungan biologis sosial, ekonomi, budaya dan agama
sangat menentukan penyebaran AIDS. Lingkungan biologis adanya riwata ulkus genitalis,
Herpes Simpleks dan STS (Serum Test for Sypphilis) yang positip akan
meningkatkan prevalensi HIV karena luka-luka ini menjadi tempat masuknya HIV.
Faktor biologis lainnya adalah penggunaan obat KB. Pada para WTS di Nairobi
terbukti bahwa kelompok yang menggunakan obat KB mempunyai prevalensi HIV lebih
tinggi.
Faktor sosial, ekonomi, budaya dan agama secara
bersama-sama atau sendiri-sendiri sangat berpengaruh terhadap perilaku seksual
masyarakat. Bila semua faktor ini menimbulkan permissiveness di kalangan
kelompok seksual aktif, maka mereka sudah ke dalam keadaan promiskuitas.
B. Konsep
Surveilans HIV dan AIDS
1. Dasar
surveilans
a.
Prosedur pemeriksaan darah untuk
penderita AIDS adalah yang pertama harus mengisi informed consent yang
artinya ketersediaan subjek untuk diambil darahnya kemudian diberikan konseling
sebelum serta sesudah test terhadap subjek dan yang terpenting harus rahasia
agar subjek yag diambil darahnya merasa nyaman dan tidak timbul rasa khawatir
misalnya tidak di beri nama bisa langsung nama kota atau nama samara saja.
b.
Cara pencatatan kasus surveilans
AIDS yaitu yang pertama malakukan pemeriksaan fisik terhadap penderita yang
mencurigakan terkena AIDS seperti terdapat 2 tanda mayor serta 1 tanda minor,
kedua yaitu pemeriksaan laboratorium untuk menguatkan dugaan terhadap
penderita, selanjutnya pemeriksaan laboratorium akan menghasilkan data apakah
penderita positif AIDS atau tidak. Apabila penderita positif menderita AIDS
maka wajib mengisi formuir penderita AIDS agar semua kasus dapat dilaporkan
baik yang sudah meninggal atau yang masih hidup, untuk yang sudah meninggal
meskipun sebelumnya sudah lapor pada saat meninggal juga wajib lapor, karena
penguburan mayat positif AIDS berbeda dengan yang biasa.
c.
Pelaporan kasus surveilans AIDS
yaitu dengan menggunakan formulir dari laporan penderita positif AIDS yang
kemudian laporan kasus ini dikirim secepatnya tanpa menunggu suatu periode
waktu dan harus dilaporkan pada saat menemukan penderita positif AIDS bisa
melalui fax atau email untuk sementara tetapi kemudian disusul
dengan data secara tertulis.
C. Pedoman
Surveilans Sentinel HIV
1. Pengumpulan
Data
Data kasus
HIV dapat diperoleh melalui laporan hasil pemeriksaan HIV oleh Laboratorium
yang meliputi kode spesimen yaitu : Kabupaten/ Kota, sub-populasi sasaran,
golongan umur, jenis kelamin, bulan dan tahun pemeriksaan. Laporan Balai
Laboratorium Kesehatan ini akan dikirimkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/
Kota, dengan tembusan ke Dinas Kesehatan Provinsi dan Ditjen PPM & PL-Dit P2ML
minat Subdit AIDS& PMS di Jakarta. Laporan hasil pemeriksaan HIV dan
sifilis dikirim dengan memakai formulir HIV-2.
Kemudian
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota mengirimkan laporan tersebut dari kepada
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dengan tembusan ke Ditjen PPM & PL minat
Subdit AIDS & IMS langsung setelah menerima hasil laboratorium. Dinas
Kesehatan Provinsi akan memakai Laporan Surveilans Sentinel HIV tersebut
sebagai data dasar untuk dimasukkan kedalam program komputer SSHIV yang menjadi
pusat pengolahan data surveilans sentinel HIV di provinsi.
Data yang
dikumpulkan tersebut pada umumnya bukan merupakan populasi sasaran surveilans
sentinel HIV misalnya: Data darah donor dari UTD/ UTDP dan Data dari Tenaga
Kerja Indonesia (TKI) yang berangkat ke luar negeri.
2. Kompilasi
Data
Semua data
yang dikumpulkan dari lapangan (dari masing-masing sub- populasi sentinel)
diolah dengan menggunakan SSHIV oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota dan
Provinsi, selanjutnya Dinas Kesehatan Provinsi akan melakukan kompilasi hasil
pengumpulan data dari lapangan dan dari Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi
di tingkat Provinsi. Hasil olahan ini akan dikirimkan ke Ditjen PPM& PL -
Dit P2ML, cq Subdit AIDS& IMS untuk dilakukan analisis di tingkat nasional.
3. Analisis
Data
Di
kabupaten/ kota dan provinsi pengelola program PMS dan HIV/AIDS melakukan
analisis sederhana supaya bisa menunjukkan tren/ kecenderungan prevalens HIV
pada setiap sub- populasi sentinel menurut waktu dan tempat dengan menggunakan
grafik-grafik sederhana. Di tingkat pusat, data yang terkumpul dari semua
daerah akan disimpan di Subdit AIDS & PMS Ditjen PPM & PL DepKes RI.
Data tersebut akan dianalisis untuk melihat tren/ kecenderungan prevalens
infeksi HIV berdasarkan orang, waktu dan tempat dalam bentuk grafik dan
ditambahkan penjelasan.
4. Interprestasi
Data
Data
surveilans sentinel HIV harus diinterpretasikan untuk menilai seberapa cepat
peningkatan atau penurunan prevalens HIV pada berbagai sub-populasi sasaran di
daerah masing-masing (populasi sentinel).
5. Umpan Balik
Data
Direktorat
P2ML cq. Subdit AIDS& PMS akan memantau pelaporan pelaksanaan kegiatan
surveilans HIV di seluruh wilayah yang melaksanakan kegiatan surveilans
sentinel HIV. Selanjutnya mereka akan membuat laporan singkat hasil surveilans
sentinel. Laporan singkat tersebut akan dikirimkan kepada semua pihak yang
terkait baik di tingkat nasional maupun di tingkat provinsi/kabupaten/kota yang
terkait. Dinas Kesehatan Provinsi juga perlu membuat laporan singkat yang
berasal dari kabupaten/ kota setempat, dan mengirimkannya kepada semua pihak
yang terkait di provinsi tersebut. Laporan umpan balik tersebut memuat
interpretasi analisis data sentinel surveilans HIV:
a.
Ringkasan hasil prevalens HIV
menurut populasi sentinel dan waktu: tren/kecenderungan peningkatan atau
penurunan prevalens infeksi-HIV pada masing-masing populasi sentinel yang
dipilih pada masing-masing wilayah.
b.
Bila tersedia, hasil surveilans
perilaku dilaporkan bersamaan hasil sero surveilans sentinel HIV.
6. Monitoring
Monitoring merupakan pengawasan
rutin terhadap informasi penting dari kegiatan surveilans sentinel yang sedang
dilaksanakan dan hasil-hasil program yang harus dicapai. Pada pelaksanaan
surveilans sentinel, monitoring dilakukan pada prosesnya melalui sistem
pencatatan dan pelaporan. Kegiatan ini dilaksanakan oleh petugas Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi, BLK dan Subdit AIDS&
PMS sesuai dengan protap.
7. Evaluasi
Evaluasi kegiatan surveilans sentinel dilakukan pada
tahap input, proses pelaksanaan dan output.
a. Pada
evaluasi input pemegang program HIV dari semua tingkat admisnistratif perlu
mengevaluasi berbagai kebutuhan. Petugas tersebut perlu melaksanakan kerangka
sampel yang benar dan pelaksanaan pemetaan lokasi sentinel. Hal lain yang perlu
diperhatikan adalah jumlah petugas kesehatan yang bermutu, materi dan peralatan
serta biaya yang dibutuhkan dalam pelaksanaan lapangan. Selain itu perlu
diantisipasi masalah-masalah yang mungkin timbul dalam pelaksanaan di lapangan.
b. Evaluasi
proses pelaksanaan perlu dilakukan untuk mengetahui efektifitas pelaksanaan
kegiatan. Pada tahap ini evaluasi dilakukan terhadap “siapa melakukan apa dan
bagaimana caranya”. Evaluasi ini dilakukan untuk semua petugas yang dilibatkan,
seperti misalnya petugas pencatatan dan pelaporan, petugas laboratorium.
Misalnya apakah petugas pengambil spesimen darah telah menggunakan prosedur
yang benar dan telah melakukan pengkodean pada setiap venoject berisi spesimen
darah.
c.
Evaluasi output mencerminkan
evaluasi terhadap kegunaan data, kualitas data dan cakupan surveilans sentinel.
Evaluasi terhadap kegunaan hasil surveilans dilakukan oleh setiap tingkat
administrasi. Evaluasi ini dilakukan dengan mengintrepretasikan
tren/kecenderungan prevelans HIV pada sub-populasi yang diamati. Sedangkan
evaluasi terhadap kualitas surveilans sentinel ini dilakukan untuk mengetahui
seberapa valid data yang dihasilkan kegiatan sentinel tersebut. Evaluasi tahap
ini lebih dititip beratkan pada proses pelaksanaan kegiatan. Evaluasi terhadap
cakupan surveilans ini meliputi hal-hal yang menghambat pelaksanaan sentinel
seperti jarak antara petugas kesehatan dan sentinel site, jadwal pelaksanaan,
biaya pelaksanaan dan sosial budaya setempat.
D. Indikator
Surveilans Sentinel HIV
Indikator
yang digunakan untuk mengukur kegiatan surveilans sentinel HIV adalah:
a.
Indikator
proses:
Semua kegiatan yang tercantum pada protap harus
dimasukkan ke dalam daftar tilik pada saat supervisi, dan menjadi indikator
proses.
b.
Indikator
output:
1)
Pencapaian populasi sentinel sesuai
rencana, berdasarkan sub-populasi dan lokasi
2)
Ketepatan waktu pelaksanaan kegiatan
3)
Ketepatan waktu pelaporan hasil
kegiatan
E. Prosedur dan
Ketentuan Surveilans Sentinel HIV/AIDS
Prosedur pelaksanaan Surveilans Sentinel HIV adalah
sebagai berikut :
1.
Menentukan populasi sentinel berdasarkan
sub-populasi sasaran dan lokasi tertentu (misalnya : PSK, pengguna NAPZA
suntik, narapidana pria, waria, ibu hamil pengunjung klinik KIA yang ditetapkan
sebagai lokasi sentinel, pasien IMS pria pada klinik IMS, pria dengan mobilitas
tinggi).
2.
Menentukan jumlah sampel yang akan
diperiksa dari spesimen yang rutin diambil pada sub-populasi dan lokasi
tertentu tersebut. Spesimen rutin adalah sample darah yang diambil untuk
pemeriksaan rutin untuk tujuan lain, misanya pada pemeriksaan sifilis rutin pada
PSK atau pasien di klinik IMS.
3.
Tes HIV/AIDS tersebut dilaksanakan
secara unlinked anonymous (tanpa nama dan tidak dapat dikaitkan dengan
pemilik spesimennya) untuk mengurangi bias partisipasi. Dengan cara ini
identitas pasien tidak dapat diketahui, sehingga hasil tes tidak dapat
diberitahukan kepada pasien tersebut. Dengan kata lain hasil yang didapatkan
hanya jumlah yang positif bukan siapa yang positif.
4.
Surveilans sentinel HIV/AIDS dimulai
pada beberapa lokasi dan dikembangkan berdasarkan kebutuhan.
5.
Surveilans HIV/AIDS tidak dapat dan
tidak boleh digunakan untuk pencarian kasus HIV/AIDS.
6.
Surveillans HIV/AIDS harus menjamin
kerahasiaan identitas sasaran dengan cara menghilangkan identitas masing-masing
sasaran dari specimen yang diambil untuk pemeriksaan HIV/AIDS.
F. Kelemahan
Sistem Surveilans Epidemiologi HIV/AIDS :
1.
Tenaga profesional serta sarana dan
prasarana yang belum memadai untuk pelaksanaan kegiatan surveilans epidemiologi
HIV/AIDS.
2.
Kesalahan pada Sumber Daya Manusia
yang ada seperti kader/petugas surveilans belum memasukkan data tepat waktu,
ketepatan pelaporan masih kurang, data sudah diolah tapi tidak dianalisis,
petugas Puskesmas mengalami hambatan menyebarkan informasi dalam pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS.
3.
Penyajian hanya dibuat dalam bentuk
table dan grafik.
4.
Penyebaran informasi hanya dalam
bentuk laporan tahunan dan penyuluhan, belum pernah dibuat buletin
epidemiologi.
5.
Pelaksanaan atribut sistem belum
sederhana.
6.
Fleksibilitas, sensitivitas, Nilai
Prediktif Positif dan kerepresentatifan belum diukur.
7.
Kurangnya dukungan dari pemerintah
dan masyarakat dalam program pencegahan penyakit yang belum ada obatnya seperti
HIV/AIDS.
8.
Jumlah kasus yang dilaporkan semu
(fenomena gunung es), lebih banyak yang ditutupi atau tertutupi karena stigma
yang timbul di masyarakat terhadap penderita AIDS menyebabkan penderita atau
mereka yang mungkin berisiko terkena HIV lebih baik tidak memeriksakan dirinya
sehingga kasus HIV/AIDS tidak mudah dideteksi oleh sistem HIV/AIDS.
G. Kelebihan
Sistem Surveilans Penyakit HIV/AIDS di Indonesia
Menurut Depkes RI (2006), kelebihan sistem survailens
penyakit HIV/AIDS di Indonesia meliputi:
1.
Sistem surveilans HIV/AIDS di
Indonesia sudah memantau seroprevalens HIV pada suatu sub populasi tertentu.
2.
Sistem surveilans HIV/AIDS sudah
memantau tren/kecenderungan infeksi HIV berdasarkan waktu dan tempat.
3.
Sitem surveilans HIV/AIDS di
Indonesia sudah memantau dampak program, menyediakan data untuk estimasi dan
proyeksi kasus HIV/AIDS di Indonesia, menggunakan data prevalens untuk advokasi,
nenyelaraskan program pencegahan dengan perencanaan pelayanan kesehatan,
dan menyediakan informasi untuk program TB-HIV.
4. Sistem
surveilans HIV/AIDS di Indonesia telah mendapat dukungan dari pemerintah baik
dalam kebijakan maupun komitmen politik, Bentuk Penerimaan Sosial, Bentuk
Dukungan Sistem.
5.
Para petugas surveilans HIV/AIDS di
Indonesia sudah mendapatkan pelatihan dalam melakukan kegiatan survailens
tersebut baik petugas provinsi, kabupaten/kota, laboratorium,dan supervisi.
6.
Syarat populasi survailens sudah
ditentukan meliputi : dapat diidentifikasi, dapat dijangkau untuk survei,
terjaminnya kesinambungan survei pada populasi l tersebut, jumlah anggota
populasi tersebut cukup memadai, dan pada tempat yang secara rutin darah
diambil untuk tujuan lain.
7. Standarisasi
waktu pengumpulan data sudah ditetapkan tergantung dari kebutuhan
8.
Manajemen data dilakukan pada setiap
tingkat administratif kesehatan untuk advokasi dan perencanaan program
selanjutnya diman Prosesnya menggunakan software SSHIV (Surveilans Sentinel
HIV) yang telah disiapkan untuk mempermudah tugas pencatatan dan pelaporan,
maupun analisis, interpretasi, dan data tersebut digunakan untuk menentukan
intervensi selanjutnya.
9.
Indikator dalam kegiatan survailens
HIV/AIDS sudah ditentukan yaitu berupa indikator proses dan indikator
output.
10. Hasil
survailens HIV/AIDS akan dievaluasi ulang oleh pihak terkait apabila
sudah memenuhi standar maka akan disebarluaskan ke publik.
Data Sistem
Surveilans HIV/AIDS
LAPORAN SITUASI PERKEMBANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
TAHUN 2013
oleh DITJEN PP&PL KEMENTERIAN KESEHATAN RI 2013
Jumlah HIV dan AIDS yang Dilaporkan per Tahun sd Maret
2013
Jumlah AIDS
yang dilaporkan mengalami perubahan karena adanya validasi data bersama Dinkes Provinsi pada Mei 2012 sampai
dengan Maret 2013
Persentase Infeksi HIV yang Dilaporkan Menurut Jenis
Kelamin
Tahun 2008 – 2013
sampai
dengan Maret 2013
Sumber:
Dinas Kesehatan Provinsi, 2013
AIDS yang Dilaporkan Menurut
Provinsi
Jumlah AIDS yang Dilaporkan Menurut
Provinsi Tahun 1987- 2013
sampai
dengan Maret 2013
Sumber:
Dinas Kesehatan Provinsi, 2013
Sepuluh Provinsi dengan AIDS Case Rate
Tertinggi sampai dengan Maret 2013
sampai
dengan Maret 2013
Sumber:
Dinas Kesehatan Provinsi, 2013
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Berdasarkan Profil
Kesehatan Nasional Tahun 2005, kasus AIDS
tertinggi dilaporkan berada pada golongan umur 20-39 tahun (79,98%) dan
40-49 tahun (8,47%) sedangkan berdasarkan data dari
Departemen Kesehatan RI (2007), rasio kasus AIDS
antara laki-laki dan perempuan adalah 4,07:1.
2.
Pada tahun 2005
terdapat 2.639 kasus baru, tahun 2006 meningkat menjadi 2.873 kasus baru, tahun
2007 meningkat menjadi 2.947 kasus baru, pada tahun 2008 meningkat menjadi
4.969 kasus baru, hingga tahun 2009 terdapat 3.863 kasus baru. Sampai 31
Desember 2009 secara kumulatif pengidap infeksi AIDS menjadi 19.973 kasus.
3.
40,2% penderita
AIDS terdapat pada kelompok Pengguna Napza Suntik atau IDU.Kumulatif kasus AIDS pada Pengguna Napza Suntik di Indonesia hingga tahun
2009 adalah 7.966 kasus, 7.312 kasus adalah laki-laki (91,8%), 605 kasus
perempuan (7,6%) dan 49 kasus tidak diketahui jenis kelaminnya (0,6%). 64,1% terdapat
pada kelompok umur 20-29 tahun, 27,1% pada kelompok umur 30-39 tahun, 3,5% pada
kelompok umur 40-49 tahun, 1,5% pada kelompok umur 15-19 tahun, 0,6% pada
kelompok umur 50-59 tahun, pada kelompok umur 5-14 tahun dan >60 tahun
masing-masing 0,1% dan 2,8% tidak diketahui kelompok umurnya.
B. Saran
1.
Pemerintah harus membuat Strategi
Rencana Aksi Nasional (SRAN) mengenai pencegahan dan pengendalian adanya kasus
baru penderita HIV/AIDS sehingga penderita kasus baru tidak meningat setiap
tahun.
2.
Perlu adanya pelayanan yang lebih
komperhensif terhadap penderita kasus HIV/AIDS.
3.
Dengan adanya makalah ini di
harapkan bisa di jadikan bahan acuan untuk dapat mengetahui bagaimana cara
penularan dari penyakit HIV/AIDS.
DAFTAR PUSTAKA
Fatah, Abdul., dr. 2006. Kewaspadaan
Global TerhadapKeadaanDarurat : Flu burung / HIV dan AIDS.
http://www.amifrance.org/IMG/pdf_HM_IV_FINAL_VERSION_0806.pdf. Diaksestanggal 7
November 2013.
Menkes. 2002. Pedoman Penanggulangan
HIV/AIDS dan Penyakit Menular Seksual Menteri Kesehatan Republik Indonesia. http://www.aidsindonesia.or.id/uploads/20130802143002.Kepmenkes_Nomor_1285_MENKES_SK_X_2002_Tentang_Pedoman_Penanggulangan_HIVAIDS_dan_Penyakit_Menular_Seksual.pdf. Diakses
tanggal 7 November 2013.
Sidebang, P. 2011. HIV/AIDS (Distribusi dan Frekuensi). Fakultas
Kedokteran : Universitas Sumatera Utara. Melalui http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23458/4/Chapter%20II.pdf diakses 08 November 2013.
Anastasya, G.
2010. Penelitian HIV/AIDS (Frekuensi dan Distribusi). Fakultas Kedokteran:
Universitas Sumatera Utara. Melalui repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16364/4/Chapter%20II.pdfdiakses 08
November 2013.
Fatah, Abdul. 2006. “Sistem
Surveilans Sentinel HIV”. Kewaspadaan Global Terhadap Keadaan Darurat: Flu
Burung / Hiv Dan Aids, Edisi 4, Oktober 2006, h. 08. Dalam http://www.amifrance.org/IMG/pdf_HM_IV_FINAL_VERSION_0806.pdf. Diakses pada
tanggal 07-11-2013 pukul 20:00 WIB
Susilowati E. (2006). Evaluasi
Sistem Surveilans Sentinel HIV di Dinas Kesehatan Kota Surabaya. Available ini http://adln.fkm.unair.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=adlnfkm-adln-s2-2006-helensusil-445 (diakses
tanggal 8 November 2013)
Muninjaya, Gde. (1999). Ebook
Masalah AIDS di Indonesia : Masalah dan Kebijakan Penanggulangannya. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Depkes RI.2006. Surveilans HIV
Generasi Kedua Pedoman Nasional Surveilans
Sentinel HIV. Departemen Kesehatan RI Direktorat
Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
available in www.perpustakaan.depkes.go.id/cgi-bin/.../opac-search.pl?q...HIV
Depkes RI.2006. Surveilans HIV
Generasi Kedua Pedoman Nasional Surveilans Sentinel HIV. Departemen Kesehatan
RI Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan available
in http://share.pdfonline.com/b2aaca3caf8844d3bc7713dbd8d6d390/BUKU%20SURVEILANS%20HIV%20GENERASI%20KEDUA%5B1%5D.htm diakses
pada tanggal 09-11-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar